Chapter 242: Hati yang Perlahan Pulih Kembali Hancur Karena Randika
Chapter 242: Hati yang Perlahan Pulih Kembali Hancur Karena Randika
"Huh, aku juga tidak mau tahu kok dari awal!" Deviana memalingkan wajahnya.
"Kamu terlihat imut ketika marah." Randika tertawa. "Aku akhir-akhir ini ada pekerjaan di luar negeri dan baru saja pulang. Selama perjalananku, aku bertemu dengan banyak perempuan cantik dan sexy. Kaki dan paha mereka mulus-mulus dan dada mereka semua besar-besar, jauh lebih besar darimu! Dan juga mereka jujur dengan perasaan mereka."
Ketika mendengar kata-kata tidak sopan ini, Deviana makin marah. "Kalau begitu kenapa kamu kembali? Bukannya kamu senang bersama mereka?"
Pada saat ini, seorang polisi menghampiri dirinya dan menanyakan apa yang perlu dikerjakan.
"Gitu saja tidak tahu! Kalian semua tidak becus!" Deviana membentak bawahannya itu.
Polisi itu terkejut, ada apa ini? Kenapa Deviana yang sosoknya seperti dewi itu tiba-tiba menjadi iblis?
Randika diam-diam tertawa dalam hatinya. Melihat Deviana yang sibuk, Randika hendak pergi. "Dev, kalau kamu ada waktu, kita pergi makan bersama ya."
Memangnya siapa yang mau makan sama kamu? Deviana benar-benar muak dan meninggalkan Randika tanpa membalasnya. Dia tidak ingin berhadapan dengan Randika lagi untuk hari ini.
Setelah beberapa saat, para kerumunan orang mulai bubar. Bagaimanapun juga, kejadian ini telah selesai dan para petugas sudah mulai berberes. Namun, si reporter TV tidak pergi begitu saja karena dia ingin mewawancarai pahlawan yang telah menyelamatkan korban.
Randika berjalan ke lantai paling bawah dan melihat si reporter tersebut.
"Apakah kamu polisi yang telah menyelamatkan perempuan tadi?"
Randika terkejut tetapi dia tidak ingin menarik perhatian yang tidak perlu, dia dengan mudah berbohong. "Orang itu masih ada di atas, sepertinya masih lama turunnya jadi bersabarlah."
Setelah itu Randika dengan cepat kabur, dia tidak ingin hidupnya yang damai di Indonesia ini menjadi heboh.
....
Sesampainya di rumah, Randika membuka pintu dan melihat Hannah sedang duduk di sofa. Sepertinya dia memakai sebuah kain untuk menutupi wajahnya.
"Aku pulang." Kata Randika dengan keras. Ketika mendengar suara itu, wajah Hannah terlihat panik dan langsung melilitkan wajahnya dengan kain selendangnya itu.
"Kak Randika akhirnya kamu pulang."
Randika menatap Hannah yang memakai selendang itu seperti kerudung pengantin, mau tidak mau dia tertawa dalam hatinya.
"Han, sejak kapan kamu mau menikah?"
Hannah bingung harus membalas apa. Randika menghampirinya dan mengusap kepalanya. "Atau kamu sedang berlatih menjadi pengantin? Atau jangan-jangan pipimu jadi gemuk karena terlalu banyak makan?"
"Apaan sih kak kok penasaran begitu." Hannah benar-benar risau dengan wajahnya yang sekarang. Beberapa hari yang lalu, muncul jerawat di wajahnya. Terus tiba-tiba jerawat mulai tumbuh dalam skala banyak dan dia merasa gatal di seluruh wajahnya, mirip dengan gejala cacar air. Terlebih, jerawat-jerawat ini tidak bisa hilang. Semakin lama ia tumbuh, semakin banyak jumlahnya. Sekarang, rasa gatal itu mulai menjulur ke rambut dan matanya.
Tentu saja, Randika sudah tahu penyakit apa yang dialami oleh adik iparnya itu tetapi dia masih ingin mempermainkannya.
"Memangnya mana ada orang memakai selendang di rumah? Apa kamu sedang menyembunyikan sesuatu?" Randika duduk di sampingnya. "Sudahlah lepas saja selendang itu, aku juga sudah lama tidak melihat wajahmu."
"Tidak, tidak, aku hanya sedang memakai masker kecantikan saja dan ini tidak boleh dilepas selama seminggu! Jadi jangan paksa aku untuk membukanya!" Hannah dengan cepat menolak. Beberapa hari ini dia sudah menderita karena rasa gatalnya itu. Dan juga karena jerawat yang begitu banyak, dia tidak berani keluar rumah. Dia takut dengan ejekan semua orang, jadi dia tidak akan menunjukan wajahnya yang buruk rupa ini pada siapapun!
"Han, kenapa kamu bersikap dingin seperti ini? Bukankah kita keluarga?" Kata Randika sambil tersenyum, dia juga melihat berbagai macam salep yang menempel di kain.
"Tuh maskermu sampai menempel seperti itu lho, bagaimana kalau kamu sesak napas?" Randika memegang ujung selendang, namun dengan cepat direbut kembali oleh Hannah.
"Kak Randika seharusnya capek bekerja bukan? Sudah cepat istirahat sana di kamar, nanti sakit lho." Hannah ingin mendorong Randika dari sofa tetapi tidak bisa.
"Han, kamu benar-benar tidak ingin membuka selendang itu?"
"Tidak mau!"
"Kalau begitu sayang sekali. Kalau cuma jerawat, aku bisa menyembuhkannya dengan mudah. Kalau begitu baiklah, aku akan istirahat di kamarku." Randika pura-pura kecewa tetapi dalam hatinya dia sudah tertawa keras.
"Kak tunggu! Barusan kamu bilang apa?" Ketika mendengar kata-kata Randika, Hannah terkejut. Kakak iparnya ini bisa menyembuhkan penyakit menyebalkan seperti ini?
"Hmm? Aku bilang aku ingin istirahat di kamar. Kamu benar, aku benar-benar capek setelah bekerja seharian." Randika tersenyum nakal. Dia ingin adik iparnya itu menyerah dan membuka kain selendang itu sebelum menyembuhkannya.
"Bukan itu kak Barusan kak Randika bilang bisa menyembuhkan jerawat?" Hannah terlihat kesal.
"Hah? Kapan aku bilang seperti itu? Sepertinya aku keceplosan saja." Randika membalikan badannya.
"Untung saja kamu tidak punya jerawat di wajah jadinya aku bisa istirahat dengan tenang."
"Tidak, tidak, kamu bisa istirahat di sini kok kak. Cepat duduk kembali di sini." Melihat tingkah laku adik iparnya yang berubah 180 derajat itu, Randika tertawa dan duduk kembali.
"Kak, apa kamu benar-benar bisa menyembuhkan jerawat di wajah?" Hannah menatap tajam pada Randika.
"Kenapa? Apa kamu punya jerawat di wajah?" Randika pura-pura tidak tahu.
"Kak aku akan membuka selendang ini, tetapi janji ya jangan ketawa." Setelah konflik batin, akhirnya Hannah membulatkan tekadnya.
"Jangan khawatir, mana mungkin aku menertawakanmu? Kamu kira aku sekejam itu? Jika aku tertawa maka aku akan ketabrak truk." Kata Randika sambil menepuk dadanya.
"Kupegang janjimu, jangan tertawa ya kak." Hannah yang ragu-ragu mulai membuka selendangnya sedikit demi sedikit.
Akhirnya, wajah Hannah terbuka seluruhnya di depan mata Randika. Setelah melihat dengan kedua matanya sendiri, Randika masih terkejut bukan main!
Sebelum ini Inggrid menjelaskan bahwa Hannah tidak mau keluar karena banyaknya jerawat di wajahnya dan menurut Randika itu sedikit dilebih-lebihkan. Tetapi setelah melihatnya sendiri, Randika tidak heran kenapa Hannah sampai merasa seperti itu.
Dari pipi hingga ke dahi, semuanya dipenuhi dengan jerawat. Jerawat-jerawat itu benar-benar bundar dan padat dengan pucuk berwarna keputihan dan kulit di sekitarnya kemerahan, sepertinya jerawatnya itu ada nanahnya.
Bisa dikatakan bahwa seluruh wajah Hannah dipenuhi dengan bentolan-bentolan seperti itu, benar-benar mengerikan.
Tetapi mungkin karena frustasi, Hannah makan terlalu banyak sehingga pipinya menjadi gemuk. Ditambah dengan jerawat seperti itu, dia sudah mirip dengan kodok. Meskipun terdengar kejam tapi dia benar-benar lucu.
"Hmm.. Han ini Uhuk! Ini agak" Randika berusaha dengan keras menahan tawanya, dia mencubit pahanya dengan keras. Hannah merasa lega karena kakak iparnya ini tidak menertawai dirinya. Sebelum ini, semua orang tertawa ketika melihat wajahnya dan yang paling menusuk hatinya adalah kakaknya sendiri juga ikut tertawa.
Tetapi semakin dia melihatnya, Randika tidak bisa menahan dirinya. "Han, kamu mirip kodok! Hahaha, aku sudah tidak tahan menahannya. Wajahmu benar-benar lucu hahaha."
Randika tertawa terbahak-bahak, wajahnya sampai meneteskan air mata. Hannah sudah mirip dengan kodok, benar-benar lucu.
Hannah terdiam seperti batu ketika Randika tertawa sepuas hati.
Hatinya yang secara perlahan pulih itu tiba-tiba hancur kembali ketika melihat wajah yang tertawa itu.
Randika menatap wajah Hannah yang depresi dan juga menatap balik dirinya dengan tatapan tajam. Sepertinya matanya ingin menyampaikan bahwa dia sudah percaya dengan dirinya, jadi kenapa dia masih saja menghancurkan kepercayaannya dengan tertawa?
"Maaf, maaf. Aku sebenarnya tidak ingin ketawa. Tapi mukamu benar-benar lucu." Randika berhenti tertawa lalu terdiam. Namun, dia tertawa lagi!
"Biarkan aku tertawa dengan puas dulu, hahaha!"
Melihat ketawa Randika yang berlebihan itu, Hannah langsung berdiri. "Kak! Kamu benar-benar keterlaluan!"
Hannah langsung berjalan menuju kamarnya.
"Ah! Tunggu Han, kakak cuma bercanda. Sudah jangan marah, aku akan menyembuhkan jerawatmu itu." Randika dengan cepat menangkap tangan Hannah.
Setelah berusaha membujuknya beberapa saat, akhirnya Hannah duduk kembali di sofa.
"Pokoknya kak Randika tidak boleh tertawa lagi." Kata Hannah dengan wajah cemberut.
"Jangan khawatir, aku tidak akan tertawa lagi."
Randika menatap Hannah dan Hannah menatap Randika, mereka berdua hanya duduk bertatap-tatapan. Namun, tiba-tiba Randika tertawa lagi.
.....
Akhirnya Randika sudah tidak tertawa lagi karena Hannah sudah memukulinya.
Dia tidak menyangka tinju adik iparnya itu kuat juga, hidungnya masih terasa sakit.
Setelah menyuruh Hannah untuk menunggu dirinya, Randika pergi ke apotek dan membeli obat tradisional Cina.
Jerawat-jerawat di wajah Hannah ini bukanlah suatu fenomena yang muncul secara mendadak, namun itu adalah hasil dari penumpukan.
Hannah itu pemakan segalanya, segala jenis makanan akan dia makan. Meskipun dia berasal dari Jakarta, namun kehidupannya di sana lebih diatur daripada dia di sini. Di kota Cendrawasih, segala jenis makanan dia coba satu per satu. Dan pada saat yang sama, sepertinya dia tidak sadar bahwa makanan yang dia makan itu mengandung lemak berlebih. Tentu saja ada berbagai macam faktor lainnya.
Penyakit seperti ini tidak sulit untuk disembuhkan. Alasan karena rumah sakit kurang efektif menyembuhkannya karena mereka tidak tahu akar permasalahannya.
Setelah sesampainya di rumah, Randika dengan cepat mengambil cobek dan menggiling obat tradisional itu dengan cara tradisional.
Hannah memperhatikan usaha Randika yang dianggapnya percuma ini. Dia sudah mengunjungi 3 rumah sakit mahal sebelum ini dan masih saja belum sembuh. Meskipun dia mengerti kakak iparnya ini jago berkelahi, tetapi menyembuhkan penyakit adalah hal yang berbeda.
Randika masih sibuk menggiling dan merebus, proses ini cukup lama.
Seiringnya berjalannya waktu, akhirnya airnya mendidih. Pada saat yang sama, obat yang sudah digiling itu dimasukan dan dicampur hingga rata dengan air mendidih.
Setelah diaduk beberapa saat, sup obat itu mulai mengental dan warnanya benar-benar hitam. Sup obat milik Randika ini benar-benar sudah mirip dengan lumpur di got. Dan di bawah tatapan matanya, kakak iparnya itu mengambil sebuah mangkuk dan menuangkannya lalu bersiap untuk mengoleskannya di muka adik iparnya.