Chapter 241: Lompat Saja Kalau Kamu Tidak Peduli
Chapter 241: Lompat Saja Kalau Kamu Tidak Peduli
Seorang pemuda ikut nimbrung dalam percakapan Randika. "Jika saja perempuan itu kenal dengan aku, dia pasti tidak punya keinginan untuk melompat seperti itu."
Randika mencuekinya, cara berbicaranya itu sudah bisa dipastikan dia adalah orang jomblo akut.
"Sudah berapa lama dia ada di atas?" Randika menatap perempuan tersebut.
"Aku sudah ada di sini sejak satu jam yang lalu, polisi sudah menangani kejadian ini sejak tadi."
"Dia benar, semoga para polisi itu bisa meyakinkannya untuk tidak melompat."
"Menurutku sangat susah, soalnya ini masalah cinta." Orang di sebelahnya mulai ikut berdiskusi. Dalam sekejap kerumunan orang ini menyuarakan pendapat mereka masing-masing.
Para petugas pemadam kebakaran sudah menyiapkan alat pencegahan berupa kasur angin berukuran raksasa. Jadi jika perempuan itu tiba-tiba melompat, maka kasur tersebut akan menyelamatkannya. Beberapa mobil polisi sudah terlihat parkir di sisi jalan dan garis kuning pembatas sudah dibentangkan agar tidak ada orang yang bisa masuk ke dalam gedung.
Kerumunan orang ini hanya ingin melihat hasil akhirnya, jadi kemungkinan mereka menerobos masuk sangatlah kecil.
Randika menatap ke atas dengan penglihatan supernya dan menyadari situasi sekarang masih dalam keadaan buntu.
Karena hati nuraninya, Randika tidak bisa tinggal diam dan bersiap untuk naik ke atas.
"Hei, apa yang kamu lakukan! Kau tidak bisa masuk." Kata polisi yang berjaga di depan gedung.
"Tenang saja, aku salah satu dari kalian. Aku hanya sedang tidak bertugas." Kata Randika, tangannya dengan cepat mengeluarkan dompetnya dan menunjukan sebuah kartu.
Polisi itu tidak dapat melihat jelas kartu tanda pengenal polisi itu, sedangkan Randika sudah menerobos masuk dan berlari menuju lantai teratas. Larinya benar-benar sangat cepat!
Polisi yang berjaga itu berpikir, kenapa orang itu mencurigakan sekali.
Setelah beberapa saat, dia merasa saku celananya kosong! Apa itu tadi dompetnya?
Polisi itu dengan cepat mencari dompetnya dan ternyata ada di dalam saku celana belakangnya. Kali ini dia benar-benar bingung, berarti kecurigaannya ini salah?
Pada saat ini, Randika sudah berhasil sampai di lantai teratas. Ketika dia berjalan menuju aula, dia melihat beberapa polisi sedang bersiaga termasuk Deviana.
"Siapa kamu? Tempat ini bukan untuk orang awam, cepat pergi sebelum kutangkap karena menghalangi." Seorang polisi menyadari kehadiran Randika dan mencegatnya.
Randika tidak memedulikannya dan menatap seluruh lokasi. Sepertinya seorang polisi sedang berusaha membujuknya tetapi suasana hati ataupun mentalnya itu labil. Sedangkan polisi yang lain bersiaga di belakang, salah satu cara untuk menyelamatkan perempuan itu adalah membangun komunikasi dan tidak bergerak secara sembarangan. Apabila perempuan itu melihat gerombolan polisi, bisa-bisa dia melakukan hal yang nekat.
Ini bukanlah misi penyelamatan sandera, kejadian seperti ini memang membutuhkan waktu dan kesabaran.
"Dia sekutu kita, biarkan dia masuk." Pada saat ini, Deviana angkat bicara. Randika tersenyum padanya dan menghampirinya.
"Bagaimana situasinya?" Randika menatap perempuan yang hendak loncat itu dari jauh dan bertanya pada Deviana.
Deviana mengerutkan dahinya. "Perempuan itu benar-benar labil, kita sudah berusaha membujuknya hampir satu jam. Namun kurasa usaha kita sama sekali tidak berhasil."
"Masalah emosional memang seperti itu." Randika menghela napas.
"Kamu terdengar seperti pernah melaluinya." Deviana menatapnya dengan tajam, kemudian dia memalingkan wajahnya. "Kalau dibiarkan seperti ini situasi akan bertambah gawat, kita sudah tidak berdaya sama sekali."
"Serahkan padaku." Kata Randika sambil tersenyum.
Deviana terkejut, tetapi setelah memikirkan bagaimana aksi Randika sebelumnya, dia mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Tetapi jangan terlalu buru-buru memaksanya, lakukan dengan perlahan saja."
"Sudah kamu tenang saja."
Randika memasuki ruangan dan menghampiri perempuan malang tersebut. "Apakah kamu masih bimbang ingin melompat atau tidak? Lagipula mati dengan cara seperti ini tidak terlalu sakit."
Sesudahnya kata-kata itu terlontarkan, si negosiator terkejut. Kenapa orang ini tiba-tiba muncul? Dan kenapa dia malah menyarankan perempuan ini untuk melompat?
Perempuan itu terkejut dan menoleh ke arah Randika.
"Ketika aku masih muda sepertimu, aku juga melakukan hal yang sama sepertimu." Randika tersenyum dan terus bercerita. "Aku juga sama sepertimu, mengalami kejadian yang pahit yang benar-benar menyayat hati. Bedanya mungkin gedungku jauh lebih tinggi darimu."
"Apa kamu dulu melompatinya?" Perempuan itu terus menatap Randika.
"Benar, aku melompat." Randika tersenyum dan kembali ke masa lalunya. Pada hari itu, dia berdiri di atas puncak gedung berlantai 25, dan gerombolan pembunuh mengejarnya dengan senapan serbu dan bazoka. Randika mau tidak mau harus melompat.
Namun, Randika tidak bisa benar-benar melompat gedung setinggi itu. Bahkan jika dia adalah salah satu dari 12 Dewa Olimpus, dia tidak bisa menahan dampak dari melompat setinggi itu. Mungkin jika angkanya satuan, Randika tidak akan ragu-ragu melompat turun.
Pada saat itu, Randika melompat dan, dengan bantuan tali, turun 3 lantai sambil mendobrak kacanya hingga pecah.
Tentu saja situasinya sangat jauh berbeda dengan perempuan satu ini, tetapi dia harus membangun kedekatan agar berhasil membujuknya turun.
"Kamu melompat tapi masih hidup?" Perempuan itu terlihat bingung. Melompat dari ketinggian yang jauh lebih dari ini dan bisa selamat?
"Yah sebenarnya itu tidak terlalu sakit. Bagaimana kalau kamu mencobanya sendiri?" Randika mengedipkan matanya. "Paling-paling rasa sakit itu hanya sedetik dan berikutnya kamu tidak akan merasakan apa-apa."
Polisi yang mendengar kata-kata Randika ini sudah berniat menghajar Randika, sepertinya orang itu nyari gara-gara.
Randika menambahkan. "Sejujurnya kamu juga tidak perlu memikirkan apa-apa. Jika kamu melompat sekarang, kamu tidak perlu melompat lagi seumur hidupmu."
"." Perempuan itu menganggap Randika mengejek kebulatan tekadnya untuk melompat. Dia yang awalnya duduk tiba-tiba berdiri.
"Eh tunggu sebentar!" Randika dengan cepat mencegatnya. "Sebenarnya ketika aku melompat itu, aku tidak bisa berjalan 2 hari setelahnya. Rasa sakit itu benar-benar membuatku terbaring di rumah sakit. Setelah mendengarnya apa kamu masih berniat untuk melompat? Kalau cuma patah hati bukankah kamu lebih baik membuka lembaran baru? Masih ada banyak pria yang baik di dunia ini."
"Apanya yang baik, semua lelaki itu pembohong!" Perempuan itu tiba-tiba membentak.
"Yah itu bukankah kamu sendiri yang mudah dibohongi?" Randika terlihat bingung.
Perempuan itu terkejut dan para polisi sudah geleng-geleng. Orang ini sudah gila, pikir mereka.
"..." Perempuan itu tidak bisa menjawab.
"Sudahlah percaya aku, percuma kamu melakukan hal seperti ini." Wajah Randika berubah menjadi serius. "Siapa memangnya yang tidak pernah mengalami hal buruk di dalam hidupnya? Kalau kamu tenggelam di kegagalanmu, kamu tinggal berubah dan membuka lembaran baru. Lagipula bagaimana dengan orang tuamu? Apa kamu mau mereka melihat berita tentang anaknya yang bunuh diri di koran? Apa kamu ingin menghancurkan hati orang tuamu?"
Mendengar penghiburan semacam ini, para polisi menghela napas lega. Sepertinya orang itu masih bisa berpikir dengan jernih.
Perempuan itu menjadi ragu untuk melompat setelah mendengar kata-kata barusan. Sejujurnya dia tidak berniat untuk melompat. Bagaimanapun juga, kabar pacarnya selingkuh itu membuatnya tidak bisa berpikir jernih dan sekarang kepalanya sudah mulai kembali normal.
Melihat perempuan itu mulai luluh, Randika justru mengatakan. "Tentu saja, kalau kamu tidak peduli dengan semua maka lebih baik kusarankan melompat. Toh orang tuamu tinggal membuat yang baru."
APA?
Deviana sudah tidak tahan mendengar semua ini, kenapa Randika terus memaksanya untuk melompat?
Perempuan itu menjadi marah. Dia kira dirinya ini takut untuk melompat? Kau kira aku mendengar bualanmu sejak tadi hanya untuk mencari perhatian?
Memangnya siapa yang takut untuk melompat!
Perempuan itu menghadap ke jendela dan menghentakan kakinya lalu melompat.
Habis sudah!
Semua orang yang ada di bawah sudah berteriak histeris. Perempuan itu benar-benar melompat!
Petugas pemadam kebakaran sudah bersiap-siap di kasur raksasa mereka, ambulans juga sudah siaga mengantar korban ke rumah sakit.
Di bawah semua tatapan mata orang, perempuan itu melayang turun dengan bebas menuju tanah.
Semua polisi yang ada di bawah tidak punya kesempatan untuk melongo, mereka juga bersiap-siap menangkap perempuan itu apabila keluar jalur dari kasur raksasa yang sudah disiapkan.
Tetapi pada saat ini, sebuah sosok melesat bagaikan angin lewat. Tangannya berhasil menangkap kaki perempuan itu!
Semua orang melihat seseorang bergelantungan di jendela dan berhasil menangkap kaki perempuan yang loncat itu di detik-detik terakhirnya.
Semua orang bersorak gembira, mereka seperti sedang melihat adegan film action.
Di sisi lain, kamera TV sudah merekam kejadian ini. Tajuk malam ini akan berisikan 'Aksi heroik seorang polisi berhasil menyelamatkan nyawa seorang perempuan'. Randika sama sekali tidak peduli, dia membiarkan para polisi untuk menerima pujian tersebut.
Para polisi yang bersiaga di belakang Randika awalnya terkejut, tetapi mereka langsung membantu Randika untuk menarik perempuan itu kembali.
"Kenapa kamu melakukannya seperti itu?" Deviana menghela napas lega. "Aku benar-benar takut tahu!"
Randika tersenyum. "Bukankah yang penting anak itu selamat?"
Melihat perempuan itu dibawa keluar, Randika berkata pada Deviana. "Berilah anak itu bantuan agar bisa berdiri kembali."
"Kamu terdengar seperti orang bijaksana." Deviana tertawa. "Kamu persis bapak-bapak yang banyak pengalaman hidup."
"Omong-omong, dari mana saja kamu akhir-akhir ini? Kenapa aku tidak melihatmu selama sebulan ini?" Tanya Deviana.
"Kenapa memangnya? Kamu rindu aku?" Randika tersenyum dan mengusap pipi Deviana.
"Siapa memangnya yang rindu!" Mendengar kata-kata Randika, Deviana dengan cepat menjadi malu di hatinya. Namun dia berhasil mempertahankan mukanya agar tidak menjadi merah.
Randika menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu aku diam saja. Karena kamu tidak peduli denganku terus buat apa aku memberitahumu?"
"Kamu ini ya!" Deviana menjadi marah.