Chapter 244: Rekor Ada untuk Dilampaui
Chapter 244: Rekor Ada untuk Dilampaui
Setelah momen bahagia itu menjadi momen pemerasan, tiba-tiba pintu rumah mereka bunyi.
"Ah itu harusnya temanku." Hannah dengan cepat menuju pintu rumah. Sesuai dugaan, ternyata seorang perempuan muda yang mengebel pintu rumahnya tadi.
Di depan pintu, Stella berdiri linglung ketika melihat Hannah. Wajah temannya ini segera tersenyum ketika sadar kembali.
"Han, wajahmu sudah kembali!"
"Iya!" Hannah benar-benar bahagia, dia dengan cepat menarik masuk teman baiknya itu.
"Aku juga bawa obat tradisional yang kata kakekku bagus buat jerawat, sepertinya kita sudah tidak perlu membutuhkannya."
Stella memperlihatkan suatu obat yang aneh.
Bisa dikatakan bahwa Stella merupakan salah satu teman baiknya Hannah. Kalau tidak, dia tidak akan membagi rahasia mengenai jerawat di wajahnya itu dan membawakannya obat.
"Han, ini teman kelasmu?" Tanya Randika sambil tersenyum.
"Iya, ini teman kamarku di asrama." Hannah tersenyum lebar. "Perkenalkan, ini adalah kakak iparku namanya kak Randika. Berkat dia jerawat di wajahku ini hilang semua."
"Ah?" Stella terkejut, dia tidak menyangka bahwa kakak iparnya itu yang menyembuhkan Hannah.
Perlu diketahui, Stella lah yang sebelumnya menemani Hannah ke rumah sakit. Sudah berkali-kali mereka berdua berganti rumah sakit dan tidak ada hasil yang memuaskan. Mereka berdua hampir pasrah dengan keadaan Hannah. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa hari ini ternyata jerawat-jerawat itu telah hilang karena sehari sebelumnya wajah Hannah masih penuh dengan jerawat.
"Berapa lama kak Randika mengobatinya? Hasilnya benar-benar luar biasa, wajahmu juga jadi mulus." Tatapan mata Stella penuh dengan rasa penasaran.
"Hahaha, kakak iparku ini bukan orang sembarangan. Seluruh prosesnya tidak lebih dari 1 jam." Wajah Hannah sudah terlihat bangga. "Dia merebus bahan-bahan sampai jadi seperti lumpur dan mengoleskannya di wajahku."
Randika hanya tersenyum di samping, kenapa yang bangga malah adik iparnya?
"Berarti kakak iparmu ini dokter super." Kata Stella dengan tatapan mata kagum.
"Hahaha tidak sampai segitunya kok. Aku cuma mengerti beberapa hal mengenai pengobatan tradisional dan kebetulan penyakitnya Hannah tidak terlalu yang rumit." Kata Randika sambil tertawa. "Kalian berdua santai-santai dulu saja, aku akan membereskan sisa-sisa tadi."
Randika lalu berjalan ke dapur dan membereskan semua peralatannya yang tadi.
Hannah dan Stella duduk di sofa dan berbincang-bincang.
"Stel, terima kasih yang sudah mau menemaniku beberapa hari ini. Kalau tidak ada kamu, aku tidak tahu harus berbuat apa."
"Sudahlah tidak usah sungkan begitu." Stella tersenyum. "Bukankah kita ini saudara dan aku ini kakakmu yang tersayang? Bisa apa adik imut sepertimu ini tanpa kakaknya?"
Hannah tersenyum. "Kalau begitu kak, adikmu ini sudah kebelet ingin liburan."
"Kalau begitu hari ini kita akan bersenang-senang! Kamu pasti bosan tidak keluar rumah beberapa hari ini kan?" Stella lalu berpikir sebentar dan membalasnya. "Bagaimana kalau ke mall Pondok Indah? Bukankah kita pernah membahas ingin ke tempat game center-nya?"
"Ide bagus!" Kata Hannah dengan wajah bahagia.
"Kak, kita mau ke game center di mall Pondok Indah nih. Apa kakak mau ikut?" Hannah dengan cepat pergi menuju dapur.
"Kalian saja yang pergi, aku di rumah saja." Kata Randika sambil tersenyum. Pergi ke mall bersama perempuan? Pengalaman terakhirnya dia pergi bersama Inggrid diakhiri dengan trauma berat karena dijadikan pembawa tas belanjaan. Dan Randika yakin adik iparnya ini tidak jauh berbeda dengan kakaknya.
Lagipula dia sudah tidak sabar menunggu datangnya malam, lebih baik dia beristirahat dan menunggu Inggrid pulang.
"Eh!! Kok tidak asyik gitu sih kak?" Hannah melompat dan menyeret Randika. "Ayolah kak temani kita, aku janji kita akan bersenang-senang bersama."
"Iya, iya, iya, biarkan aku ganti baju dulu kalau begitu." Randika merasa tidak berdaya.
..........
Dengan terpaksa, Randika menyetir menuju mall bersama dengan Hannah dan Stella.
Mall Pondok Indah terkenal dengan game center-nya yang besar dan banyak mainannya. Banyak orang muda yang berkumpul di sini.
Karena game center ini memakai sistem power card, Hannah dan Stella langsung mengisi kartu mereka hingga 300 ribu. Mereka tidak sabar mencoba semua permainan yang ada.
"Eh, eh, kita coba main itu!" Tatapan mata Stella berbinar-binar ketika melihat permainan tembak-tembakan yang kosong.
"Ayo!" Hannah sejujurnya tertarik pada semua genre mainan. Dan ketika mereka mencapai game permainan bola basket, Randika ikut memainkannya.
Permainan ini cukup sederhana. Kita diberi waktu oleh mesin sebanyak 30 detik, waktu akan bertambah 1 detik dan skor akan bertambah 2 ketika sebuah bola masuk di keranjangnya. Jadi secara teori, jika kamu cukup jago, kamu bisa memainkan permainan ini selama mungkin. Tentu saja, itu semua tergantung dari keahlianmu melempar.
"Aku duluan." Hannah dengan cepat menggesek kartunya. Bola dengan cepat turun dan Hannah mulai melemparnya satu per satu. Sayangnya, semua usaha Hannah itu hanya mengenai pinggiran keranjang tanpa satu bola pun masuk.
Namun karena Hannah memiliki jiwa kompetitif, dia tidak menyerah dan melempar bola basket itu dengan semangat.
Randika menatap adik iparnya ini sambil tertawa, sepertinya bola basket milik adik iparnya itu juga hampir lepas.
Namun karena semua lemparan Hannah tidak mengenai sasaran, waktu bermainnya makin menyusut dan akhirnya mencapai angka 0.
Orang-orang yang lewat tertawa dalam hati mereka, tetapi karena yang bermain adalah perempuan jadi mereka semua memakluminya.
Hannah memegang bola terakhir di tangannya dan melemparnya dengan sepenuh hati. Namun, bola tersebut malah air ball.
"Hahaha, skormu 0!" Stella tertawa. "Cupu sekali kamu."
Sekarang gilirannya Stella untuk beraksi. Dia mulai melempar bola basketnya satu per satu.
DUAK!
Lemparan pertamanya gagal.
SYUT
Lemparan keduanya bahkan tidak mengenai keranjangnya.
PROK!
Akhirnya lemparan ketiganya masuk!
Namun, Stella hanya berhasil memasukan 1 bola saja selama bermain.
Semua yang lewat sudah tertawa, sepertinya mengamati bola basket kedua cewek itu lebih asyik daripada melihat mereka bermain.
Hannah dan Stella merasakan tatapan-tatapan mengejek ini dan menjadi jengkel. Mereka bertambah jengkel ketika Randika menertawai mereka. "Hahaha, kalian berdua memang payah. Permainan ini juga menuntut kemampuan melempar jadi tidak cukup bermodalkan semangat."
"Kalau begitu kenapa kak Randika tidak mencobanya?" Hannah mendorong Randika ke depan mesin.
"Baiklah." Randika meminjam kartu Hannah dan mulai memainkannya.
PROK!
Bola pertama masuk dengan mulus, suara jaringnya benar-benar melegakan hati. Randika lalu mengambil bola kedua dan berhasil memasukannya kembali.
Semua lemparannya masuk dengan mulus dan suara mesin permainan ini mulai heboh dan skor yang tertera sudah 100.
Orang-orang yang awalnya tertawa itu mulai terlihat serius. Hannah dan Stella sendiri sudah berdiri dengan linglung, ternyata ada yang bisa melempar segitu banyak?
Randika sendiri masih terus melempar bola, dia dengan santai mengambil bola dan melemparnya dengan sempurna. Suara bola masuk terus menerus terdengar, Randika sudah mirip dengan pemain NBA.
Suara mesin mulai kembali heboh, skor Randika sekarang mencapai 300. Pada saat ini, keranjang basket itu mulai bergerak ke kanan dan ke kiri dengan kecepatan yang pelan.
Saat mencapai skor tertentu, keranjang basket itu akan bergerak. Awalnya akan pelan tetapi seiring berjalannya skor, keranjang itu akan bergerak makin cepat.
Semakin banyak orang yang berhenti dan melihat Randika. Mereka tidak bisa menyembunyikan rasa kagum mereka, orang itu benar-benar jago.
Skor tertinggi di mesin itu adalah 1120 poin, jadi bisa dikatakan bahwa itu batas tertinggi orang-orang selama ini. Apakah orang ini bisa mematahkan rekor poin tersebut?
Pergerakan Randika terlihat santai dan stabil. Setiap kali dia melempar, lemparannya selalu masuk dengan mulus. Mengenai waktu, karena Randika berhasil memasukannya terus menerus, waktunya telah menjadi 120 detik.
Dia sudah mendapat waktu 90 detik tambahan.
PROK!
Randika sekarang berhasil mencapai skor 500, mesin kembali mengeluarkan suara dan keranjangnya mulai bergerak lebih cepat.
Orang-orang yang berkumpul sudah hampir menutup jalan, mereka menatap Randika dengan tatapan kagum.
"Gila, orang itu belum pernah meleset sekali pun."
"Apa dia pemain basket profesional?"
"Sepertinya dia akan memecahkan rekornya."
Orang-orang mulai berdiskusi satu sama lain, Randika dengan santai terus melempar bolanya. Skornya perlahan mencapai angka 800.
Keranjang basketnya sudah bergerak dengan sangat cepat, tetapi tiap tembakan Randika tidak pernah meleset. Mengenai waktu, dia sudah mencapai 400 detik lebih.
Orang-orang mulai menahan napas mereka, sepertinya skor tertinggi itu akan terpecahkan.
Semua orang menunggu-nunggu momen ini.
PROK!
Kali ini Randika berhasil mencapai skor 1000, keranjang basketnya juga mulai bergerak lebih cepat lagi. Dengan kecepatan seperti itu, sangat sulit bagi siapapun untuk mencetak angka.
Namun dengan keahlian Randika, kecepatan seperti itu bukanlah apa-apa. Persentase bola masuknya masih sempurna.
Tidak butuh waktu lama untuk Randika mencapai angka 1120, satu bola lagi maka skor tertinggi itu akan terlampaui.
Semua orang sudah menepuk tangan mereka, orang ini benar-benar luar biasa!
Hannah dan Stella sudah geleng-geleng, terutama Hannah. Sepertinya kakak iparnya ini ahli dalam melakukan apa pun.
Randika masih melempar bolanya dan orang-orang masih menonton dirinya. Sekarang dia sudah mencapai angka 3000. Keranjang basketnya sudah bergerak seperti kesetanan, orang-orang sudah tidak bisa melihat keranjang itu dengan normal. Namun, bagi Randika kecepatan itu masih bukanlah apa-apa dibandingkan peluru.
Tembakan demi tembakan mengenai sasarannya dengan cepat, tidak ada satupun yang meleset.
Semua orang sudah bertanya-tanya pada diri mereka, apa dia masih manusia?
Randika masih melempar, sekarang skornya mencapai 7000 dan belum ada satu bola yang meleset.