Chapter 169: Christina Menghilang
Chapter 169: Christina Menghilang
Keesokan harinya Randika dan Inggrid berangkat bersama menuju kantor. Hal pertama yang Randika lakukan adalah pergi ke ruangan khusus di perusahaan ini yang memproduksi ramuan X.
Namun, Randika sedikit kecewa ketika sesampainya di sana. Ramuan X sama sekali tidak mengalami kemajuan dan masih membutuhkan waktu.
Randika berharap apabila ramuan X sudah jadi, dia akan menggabungkannya dengan obat merah yang diberikan kakeknya itu. Tetapi karena ramuan X tidak ada kemajuan sama sekali, dia harus melepaskan angan-angannya itu.
Kemudian Randika segera menuju lift dan hendak pergi ke ruangannya. Sesampainya dia di lantai 9, Viona hendak masuk.
"Randika!"
Melihat Randika di depannya, Viona tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Randika lalu membalas senyumannya dan keluar dari lift.
"Vi, tunggu!"
Melihat Viona yang mau turun itu, Randika langsung menahan pintu lift dengan kakinya.
"Kenapa?" Viona terlihat bingung.
Tatapan mata Randika terkunci di dada Viona, behanya sedikit longgar.
Viona sama sekali tidak tahu dan hari ini dia memakai baju berwarna putih jadi orang-orang bisa melihat apa yang dibalik bajunya itu.
"Vi, behamu sedikit longgar." Kata Randika, sekaligus pada saat ini, dia sudah mengulurkan tangannya dan membantu membetulkannya.
Viona terkejut, bagaimana bisa dia tidak menyadarinya.
Pada saat ini, kedua tangan Randika sudah berada di balik baju Viona.
Viona sudah tersipu malu, tangan Randika yang besar itu sudah ada di balik bajunya. Setelah Randika membenarkan posisi dadanya, dia mengencangkan behanya.
"Vi, hanya aku yang boleh melihatnya. Jangan biarkan orang lain melihatnya." Kata Randika dengan senyuman nakal. Setelah itu dia meraba dada Viona, tangannya benar-benar penuh dengan kekenyalan.
Viona kembali menjadi malu, dia merasa Randika semakin berani meskipun ini adalah tempat kerja mereka.
Namun, Viona sama sekali tidak melawan. Dia berpikir karena tidak ada orang mungkin sedikit momen mesra ini cukup menyenangkan.
"Baiklah kalau begitu, kembalilah bekerja biar tidak ada yang curiga." Kata Randika sambil keluar dari lift. "Berhati-hatilah lain kali."
Ketika Viona sudah pergi, Randika menatap kedua tangannya. Pertumbuhan Viona benar-benar bagus, tetapi kalau dibandingkan dengan Inggrid, dia masih kalah. Bagaimanapun juga, Inggrid telah dilatih sendiri olehnya sedangkan Viona masih belum. Mungkin nanti pertumbuhan badan Viona juga lebih bagus kalau dilatihnya?
Wajah Randika benar-benar terlihat mesum, dia berpikir lebih cepat meniduri Viona maka lebih baik.
Saat masuk ke ruangannya, Randika, seperti biasa, berbincang dan bercanda dengan para ahli parfum lainnya. Setelah itu dia memberikan arahan pada para ahli parfum.
Waktu berlalu dengan cepat, tidak kerasa sekarang waktunya untuk pulang. Randika jelas bersemangat, waktunya mantap-mantap di rumah. Hari ini enaknya permainan apa yang dilakukannya bersama istrinya?
Borgol dan cambuk?
Tidak, Inggrid pasti tidak mau melakukannya.
Tuan dan pelayan?
Terakhir kali baju pelayan ala Jepang yang dipakai Inggrid benar-benar membuatnya bergairah, malam itu benar-benar membekas di ingatannya. Apalagi pada saat itu Inggrid yang memiliki harga diri tinggi memanggilnya tuan dan melakukan apa pun yang dimintanya, momen itu benar-benar menyenangkan. Namun, mengulang hal yang sama kurang menarik baginya. Randika memikirkannya sesaat lalu tertawa.
Baiklah, hari ini kita akan bermain perawat dan pasien!
Tetapi dia tidak memiliki baju perawat. Jadi dia memutuskan untuk pergi dan membeli perlengkapannya. Dia juga berpikir sekalian membeli lingerie sexy buat istrinya, malam ini akan menyenangkan.
Tiba-tiba handphonenya bergetar, tetapi nomor yang menghubunginya tidak terdaftar.
Meskipun sedikit ragu, Randika memutuskan mengangkatnya.
"Halo, ini benar Randika?"
Suara yang menghubunginya terdengar familiar, Randika berpikir sesaat dan menyadari bahwa yang meneleponnya adalah ibunya Christina.
"Iya tante ini Randika." Kata Randika, dia berharap tidak akan dijodohkan lagi.
"Ran, apa anakku sama kamu?" Suaranya benar-benar terdengar cemas.
"Wah enggak tuh tante, kami sudah lama tidak ketemu." Randika merasakan firasat buruk.
"Ah Bagaimana ini? Tante sudah tidak tahu harus ke mana lagi." Suaranya terdengar sedih.
"Memangnya ada apa ya?" Tanya Randika.
"Tintin sejak kemarin tidak ada kabarnya."
Randika terkejut, orang yang peduli dengan keluarganya seperti Christina tiba-tiba menghilang? Christina sama sekali bukan tipe yang seperti itu.
"Tante tunggu aku, aku akan segera ke rumah." Kata Randika sambil menutup teleponnya. Dia langsung berangkat menuju rumah ibunya Christina.
Tak lama kemudian, Randika tiba di tujuannya.
"Tante tolong jelaskan detailnya!" Randika terlihat cemas.
Wajah ibunya Christina ini makin terlihat tua. "Kemarin Tintin ngabarin kalau dia mau ke rumah muridnya untuk pelajaran tambahan. Awalnya aku tidak curiga apa-apa, tetapi hari ini seharusnya kita makan siang bersama di rumahku tetapi Tintin tidak datang. Lalu tante telepon handphonenya tetapi handphonenya mati. Tante menjadi cemas terus tante telepon sekolahannya. Sekolahannya ngomong kalau Tintin hari ini tidak datang mengajar dan tetangganya juga ngomong tidak melihat anakku itu sejak kemarin malam. Aku pikir mungkin dia menginap di rumahmu jadi tante meneleponmu."
"Tante tidak usah khawatir. Aku akan membawa Christina kembali." Randika berdiri. "Tante sekarang laporkan hal ini pada polisi, aku akan mencarinya."
"Maafkan tante ya, tante sudah merepotkanmu." Ibunya ini berusaha menahan air matanya, dia masih belum menyerah.
"Tante tahu alamat murid yang didatangi Christina?" Tanya Randika.
"Seingat tante Tintin sudah beberapa kali ke rumah anak itu. Kalau tidak salah namanya Vero."
"Alamatnya?"
Ibunya berdiri dan menjawab. "Sebentar aku akan mencarinya."
Kemudian ibunya mencari di kamar Christina dan setelah beberapa saat dia kembali sambil membawa secarik kertas.
Ibunya kemudian memberikannya pada Randika. "Aku sekarang akan pergi ke alamat ini, tante tunggu kabar dariku."
Setelah itu, Randika berlari sekuat tenaga ke alamat Vero tanpa berhenti satu detik pun.
Satu-satunya petunjuk adalah murid ini.
Tak lama kemudian, Randika tiba di alamat tersebut dan tiba di sebuah rumah yang cukup besar.
Saat dirinya mengetuk pintu, terdengar suara dari dalam. "Iya sebentar."
Kemudian seorang perempuan membukakan pintu, perempuan ini berjalan menggunakan tongkat dan kakinya dibalut oleh perban.
Ketika Vero melihat Randika, dia terlihat bingung. "Siapa ya?"
"Apa kamu Vero?" Tanya Randika.
Vero hanya mengangguk.
"Aku ingin bertanya sebentar. Apa kemarin Christina datang ke rumahmu untuk memberikanmu pelajaran tambahan?" Tanya Randika.
"Benar." Vero mengangguk. "Kakiku retak jadi aku tidak bisa datang ke sekolah, jadi bu Christina dengan baik hati memberikan pelajaran tambahan."
"Berapa lama pelajarannya?"
"Kira-kira 2 jam, setelah itu bu Christina langsung pergi."
Mendengar kata-kata Vero itu, Randika mengerutkan dahinya.
"Kamu yakin Christina benar-benar pergi?"
"Iya." Vero mengangguk. "Aku sendiri yang mengantar bu Christina keluar dari rumah, setelah itu beliau langsung pulang." Vero menatap Randika. "Apakah ada masalah dengan bu Christina?"
"Tidak ada apa-apa. Aku permisi dulu ya."
Setelah pergi dari rumahnya Vero, Randika mengerutkan dahinya. Dia memperhatikan tatapan mata dan gerak-gerik Vero, perempuan itu tampaknya tidak berbohong. Jadi Christina mulai menghilang saat perjalanannya pulang.
Ini sedikit rumit, petunjuknya sangat kurang jadi dia tidak tahu harus mulai dari mana.
Sambil terus berpikir, tiba-tiba ada suara. "Randika!"
Ketika Randika menoleh, yang memanggilnya ternyata Deviana.
"Kebetulan sekali!" Randika tersenyum.